Reformasi. Satu kata yang sering identik dengan pergerakan mahasiswa di tahun 1998 yang menjatuhkan kekuasaan Soeharto dengan masa orde barunya. Reformasi sendiri merupakan perubahan terhadap suatu sistem lama yang dianggap sudah tidak sesuai dengan aspirasi. Empat belas tahun sudah masa reformasi ini bergulir. Tetapi ternyata korupsi, kolusi dan nepotisme masih saja marak terjadi di negeri kita.
Reformasi yang terjadi tahun 1998 selalu identik dengan penolakan terhadap keotoriteran penguasa,monopoli ekonomi, dan KKN. Melalui proses yang terjadi di tahun 1998, reformasi mampu menggelindingkan keotoriteran, monopoli ekonomi serta KKN yang dilakukan oleh penguasa. Reformasi dikatakan berhasil menjatuhkan pemerintah masa orde baru tetapi belum berhasil menciptakan sistem pemerintahan yang ideal.
Jika di masa orde baru mengungkapkan pendapat saja merupakan suatu hal yang tabu, di masa reformasi pendapat menjadi hak utama yang selalu dipertimbangkan. Di masa orde baru setiap pergerakan kita dimata-matai, jangankan bergerak, berbisik pun sudah tak mampu. Di zaman sekarang siapapun diizinkan untuk melalukan suatu pergerakan, melakukan suatu perubahan, yang pasti juga bisa bersuara. Kebebasan pers, berpendapat maupun berpolitik layaknya air yang mengalir deras. Indonesia seperti terlahir kembali.
Bebas. Bisa dikatakan seperti itu. Sangat disayangkan kebebasan ini tidak diikuti oleh penciptaan sistem pemerintah yang ideal. Pemerintah menjadi lemah. Masa reformasi lebih mementingkan kekuasaan modal dibanding kekuatan kapasitas manusia. Sehingga pergerakan apapun dikendalikan oleh mereka-mereka yang bermodal. Reformasi ini bisa disebut dengan “liberliasasi politik”. Sebab dalam penyelenggaraannya berasaskan pada apa yang telah dianut oleh paham liberalis atau kaum kapitalis. Kondisi seperti inilah yang membuat para penyelenggara negara berlaku korup, kolusi, dan juga nepotisme. Karena kekuatan modal yang memegang penting dalam kehidupan, mereka beranggapan kapasitas manusia bukan apa-apa lagi.
Perubahan ini terjadi begitu cepat sehingga pemerintah pun belum mampu untuk menyesuaikan diri. Selama 14 tahun ini kita hanya mampu melakukan dekonstruksi tetapi belum mampu untuk melakukan rekonstruksi. Tidak salah jika demokrasi adalah sistem yang kita gunakan,tapi yang salah adalah sikap dari masing-masing pribadi. Tidak heran jika KKN semakin menjadi-jadi di era reformasi.
Kembali lagi dari semua ini,dibutuhkan seorang pemimpin yang sesuai dengan jiwa reformasi. Seorang pemimpin yang mampu bertindak tegas, mampu mengambil sikap dan membuat keputusan terbaik. Seorang pemimpin yang mampu mengawal reformasi secara benar agar mencapai tujuan yang kita inginkan yakni Indonesia yang maju dan modern dalam sistem demokrasi, yang menghormati hukum dan hak asasi manusia, serta jauh dari praktik KKN. Kita tidak boleh putus asa untuk mendapatkan pemimpin yang cocok untuk sistem demokrasi karena bangsa ini sebenarnya kaya dengan manusia-manusia yang kuat kepemimpinannya. Satu hal yang tidak boleh dilupakan oleh seorang pemimpin, yaitu kembali pada dasar negara kita “Pancasila”. (Vita)