Pages

Seminar Kepemudaan

"Bangkitlah Negeriku Harapan itu masih ada" by BEM KMFT UGM

Kebangkitan UGM, Gadjah Mada Optimis

Yogyakarta - Senin, 28 Mei 2012 merupakan momen penting bagi Universitas Gadjah Mada. Pada hari tersebut Prof. Dr.Pratikno, M.Soc.Sc resmi dilantik menjadi rektor baru UGM periode 2012-2017.

Esensi Hari Anti Tembakau bagi FKT

Esensi Hari Anti Tembakau Se-Dunia agaknya terkikis di Fakultas Kehutanan. Ingatkah kalau tanggal 31 Mei 2012 ini kita memperingati hari tersebut?

Rabu, 06 Juni 2012

Reformasi, Siapa yang Punya? Masyarakat atau Penguasa ?


Reformasi. Satu kata yang sering identik dengan pergerakan mahasiswa di tahun 1998 yang menjatuhkan kekuasaan Soeharto dengan masa orde barunya. Reformasi sendiri merupakan perubahan terhadap suatu sistem lama yang dianggap sudah tidak sesuai dengan aspirasi. Empat belas tahun sudah masa reformasi ini bergulir. Tetapi ternyata korupsi, kolusi dan nepotisme masih saja marak terjadi di negeri kita.
Reformasi yang terjadi tahun 1998 selalu identik dengan penolakan terhadap keotoriteran penguasa,monopoli ekonomi, dan KKN. Melalui proses yang terjadi di tahun 1998, reformasi mampu menggelindingkan keotoriteran, monopoli ekonomi serta KKN yang dilakukan oleh penguasa. Reformasi dikatakan berhasil menjatuhkan pemerintah masa orde baru tetapi belum berhasil menciptakan sistem pemerintahan yang ideal.
Jika di masa orde baru mengungkapkan pendapat saja merupakan suatu hal yang tabu, di masa reformasi pendapat menjadi hak utama yang  selalu dipertimbangkan. Di masa orde baru setiap pergerakan kita dimata-matai, jangankan bergerak, berbisik pun sudah tak mampu. Di zaman sekarang siapapun diizinkan untuk melalukan suatu pergerakan, melakukan suatu perubahan, yang pasti juga bisa bersuara.  Kebebasan pers, berpendapat maupun berpolitik layaknya air yang mengalir deras. Indonesia seperti terlahir kembali.
Bebas. Bisa dikatakan seperti itu. Sangat disayangkan kebebasan ini tidak diikuti oleh penciptaan sistem pemerintah yang ideal. Pemerintah menjadi lemah. Masa reformasi lebih mementingkan kekuasaan modal dibanding kekuatan kapasitas manusia. Sehingga pergerakan apapun dikendalikan oleh mereka-mereka yang bermodal. Reformasi ini bisa disebut dengan “liberliasasi politik”. Sebab dalam penyelenggaraannya berasaskan pada apa yang telah dianut oleh paham liberalis atau kaum kapitalis. Kondisi seperti inilah yang membuat para penyelenggara negara berlaku korup, kolusi, dan juga nepotisme. Karena kekuatan modal yang memegang penting dalam kehidupan, mereka beranggapan kapasitas manusia bukan apa-apa lagi.
Perubahan ini terjadi begitu cepat sehingga pemerintah pun belum mampu untuk menyesuaikan diri. Selama 14 tahun ini kita hanya mampu melakukan dekonstruksi tetapi belum mampu untuk melakukan rekonstruksi. Tidak salah jika demokrasi adalah sistem yang kita gunakan,tapi yang salah adalah sikap dari masing-masing pribadi. Tidak heran jika KKN semakin menjadi-jadi di era reformasi.
Kembali lagi dari semua ini,dibutuhkan seorang pemimpin yang sesuai dengan jiwa reformasi. Seorang pemimpin yang mampu bertindak tegas, mampu mengambil sikap dan membuat keputusan terbaik. Seorang pemimpin yang mampu mengawal reformasi secara benar agar mencapai tujuan yang kita inginkan yakni Indonesia yang maju dan modern dalam sistem demokrasi, yang menghormati hukum dan hak asasi manusia, serta jauh dari praktik KKN. Kita tidak boleh putus asa untuk mendapatkan pemimpin yang cocok untuk sistem demokrasi karena bangsa ini sebenarnya kaya dengan manusia-manusia yang  kuat kepemimpinannya. Satu hal yang tidak boleh dilupakan oleh seorang pemimpin, yaitu kembali pada dasar negara kita “Pancasila”. (Vita)

Jumat, 01 Juni 2012

Esensi Hari Anti Tembakau Sed-Dunia di FKT



Esensi Hari Anti Tembakau Se-Dunia agaknya terkikis di Fakultas Kehutanan. Ingatkah kalau tanggal 31 Mei 2012 ini kita memperingati hari tersebut? Mungkin ada sebagian yang ingat, tapi hanya sebagian kecil saja. Maka, tulisan ini bertujuan untuk refleksi seberapa besar perhatian kita tentang bahaya tembakau (dalam hal ini rokok) terhadap kesehatan, terhadap orang lain, bahkan terhadap lingkungan. Sejak tahun 1987, WHO mencanangkan Hari Anti Tembakau Se-Dunia dengan tujuan meningkatkan kesadaran publik akan bahaya merokok dengan menantang para perokok untuk tidak mengisap tembakau selama 24 jam. Tentu hal ini terasa sulit, apalagi bagi mereka yang sudah kecanduan.
Bahaya merokok sudah jelas kita ketahui: dari tulisan di bungkus rokok hingga berbagai aksi dan sosialisasi tentang bahaya merokok. “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin” hanya sebatas slogan semata. Dengan dalih alasan hak asasi manusia, perokok di Indonesia adalah orang yang merdeka yang tidak bisa diganggu gugat. Dampak-dampak buruk rokok tak hanya terjadi pada perokok aktif, melainkan juga perokok pasif.
Di Indonesia sendiri Menurut WHO sekitar 150 juta penduduknya adalah perokok dengan konsumsi rokok total hingga 220 miliar batang per tahun. Tahun 2011 ini Indonesia menduduki peringkat ke-tiga konsumsi rokok terbanyak di Asia, setelah Cina dan India. Sementara itu Komisi Nasional Perlindungan Anak menyatakan jumlah perokok anak saat ini meningkat hingga 45 %. Sedangkan sebagian perokok pasif seperti 43 juta anak Indonesia saat ini hidup serumah dengan perokok dan mengalami berbagai gangguan pernafasan seperti bronchitis dan asma.
Mengetahui segala bahaya yang telah ditimbulkan, yang mengherankan adalah bahwa pelaksanaan Hari Anti Tembakau Se-Dunia ini ternyata tidak seperti yang diharapkan karena pada hari tersebut masih saja orang-orang merokok dengan seenaknya. Di tempat umum, di Rumah Sakit, bahkan di kampus sekalipun. Nah, bagaimana dengan Fakultas Kehutanan? Apakah kita yang identik dengan para aktivis lingkungan masih tinggal diam dengan kondisi ini? Bagaimana anda sebagai perokok aktif maupun pasif menyikapi hal ini?

*Dari berbagai sumber

(Arina Damayanti)